“Lo lagi mikir apa, sih ?”
Aku terdiam. Menatapnya dalam, antara ragu dan tidak untuk menceritakannya.
I mean, where should I start?Bertha, ketahuilah, kemarin aku baru saja bermimpi. Kamu meninggal. Ya, meninggal. Ditabrak Angkot. Jelas, aku takkan keliru itu kamu. Bahkan aku masih ingat, angkot jurusan Manggarai yang menabrakmu. Kamu di rumah sakit, di atas tempat tidur yang menggiringmu ke ruang operasi. Kamu bersimbah darah, bahkan tidak sadar diri dimana kamu berada. Saat itulah aku melihatnya. Tubuhmu kejang, pinggulmu seakan ditarik-tarik ke berbagai arah. Mungkin itu yang namanya sekarat. Aku baru tahu sekarang. Lalu nafasmu.. Mengerikan. Seakan-akan ada kekuatan besar yang ingin menarik kehidupan dari dalam dirimu.. Benar-benar merasa berdosa, merasa seperti mencuri oksigen untuk kau hirup..
Masa aku mau cerita begitu ?
Bertha menggoncang bahuku. “Nyoss, lo kenapa?”
Nyengir, cuma itu yang bisa kulakukan. Konyol banget, kan? Khawatir sama mimpi, yang katanya cuma bunga tidur.
“Ayo, ah.. Jadi nemenin gue, nggak? Kalo nggak, gue pergi sendiri, nih..” Bertha ngomel, berjalan mendahuluiku.
“Eh.. Ayo, deh..”
Aku mengejarnya. Berusaha untuk mensejajari langkahnya yang kelewat cepat.
“Emang kita mau kemana, sih?”
“Ke rumah Tante gue dulu, ya.. Nyokap gue nitip sesuatu nih..”
“Boleh, deh.. Dimana?”
“Minangkabau”
Langkahku terhenti.
Minangkabau? Naik angkot, lagi.. Jurusan Manggarai?
Bayangannya kembail berkelebat di dalam fikiranku.
Aku cepat-cepat mengejarnya, menyetop langkahnya.
“Kita naik bajaj aja, yah.. Gue yang bayar, deh..”
Dia cuma menatapku sekilas.
“Terserah lo, deh..”
Aku menghela nafas lega.
* * *
“Jalan lagi..?” Aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak terasa gatal.
“
Please.. Gue harus balikin buku. Udah telat semingguan lebih.. Denda-nya pasti gede banget, nih.. Ayo, dong..”
Aku mengecek jam di dinding sebentar, untuk kemudian menjawab, “oke, deh..”
Bertha nyengir kuda. “Ntar gue yang bayar deh, ongkosnya..”
“Gitu, kek..” Komentarku sembari berlalu ke dalam rumah untuk berganti pakaian.
Sepuluh menit kemudian kita sudah berjalan meninggalkan rumah untuk mencari angkot.
Ha..? Angkot?
”Perpus-nya dimana, sih?”
“Senayan”
“Naik angkot?”
“Iya, ntar dari Manggarai kita ambil Busway..”
Aduh..
“Naik taksi aja, yah..”
Bertha mendelik. “Lo kenapa, sih? Nggak me-rakyat banget dari kemaren..”
“Patungan sama gue, deh, bayarnya..”
“
Giling, tetep aja lumayan bayarnya..”
Aku menelan ludah.
“Kalo nggak mau, ya udah.. Nggak gue temenin..” Aku berbalik arah, berjalan kembali ke rumah.
“Eh.. Nyoss.. Kok balik, sih? Aduh, iya deh..”
Aku berbalik untuk tersenyum menatapnya. “Gitu, dong..”
Bertha tersenyum kecut.
Aku dapat mendengar diriku menghela nafas berat.
Kehilangan seorang sahabat baik bukanlah sebuah
option menarik yang mau kupilih. Ketika ada pilihan lain (walau terdengar sedikit
lame), kenapa tidak ? Selama itu bisa membuang kekhawatiranku terhadap Bertha..
* * *
Aku berdiri diam di pinggiran jalan.
Menunggu angkot yang biasa kunaiki untuk pulang. Dan disanalah kulihat Bertha, berdiri di seberang jalan dengan tangan melambai ke arahku, riang.
Aku tersenyum, membalas lambaian tangannya.
Seharusnya aku merasa senang. Bertha disana, selamat, tidak ada yang salah.
Namun kemudian sesuatu terjadi.
Bertha berlari ke arahku, tidak menghiraukan jalanan yang deras akan kendaraan. Tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan, melanggar etika lalu lintas yang kerap diajarkan.
Sedetik kemudian terdengar suara ban mobil berdecit, tanda direm dengan tiba-tiba.
Bunyi klakson memenuhi ruang udara, membuat pusing kepala.
Seperti film yang sedang di
slow motion, aku melihat tiap-tiap detail kejadiannya. Bagaimana mobil hijau itu meremukkan tubuh Bertha.
Bagaimana jalanan berubah menjadi lautan darah..
Bagaimana Bertha pergi meninggalkanku untuk selamanya..
Aku terjaga.
Jengah. Gerah. Itu yang kurasa pertama.
Wajahku basah, bukan hanya oleh keringat, namun juga air mata.
Kemudian HP-ku bernyanyi, nama ‘DENI’ terpampang di layar LCD.
Dengan jantung yang masih berdegup kencang aku mengangkat panggilannya, setelah sebelumnya sempat melihat ke arah jam weker di meja. 00.00 am
“Nyoss..?” suara Deni, kakak Bertha, terdengar kacau di seberang sana.
“Den.. Kenapa Den..?!” seketika rasa mencekam itu kembali datang, menyelimutiku dengan kekalutan.
“Bertha, Nyoss.. Bertha..”
Aku sudah dapat menduga apa yang akan ia katakan selanjutnya.
“Bertha.. Bertha..”
Kata-kata yang dia ucapkan selanjutnya seperti tidak terdengar.
Entahlah, mungkin sesuatu dalam diriku yang menolak untuk mendengar.
Aku tidak mau tahu.. Tidak mau mendengar..
Aku sudah tahu, tapi tetap tidak mau menerima..
Bertha-ku telah pergi untuk selamanya.
* * *
Aku tertunduk, tak kuasa menahan tangis.
Sementara dihadapanku, tubuh Bertha terbaring kaku dan dingin.
”Bertha.. Jantung.. Tarikan nafas terakhir.. Lagi tidur..”
Terputus-putus Deni menjelaskan padaku malam itu.
Sekejap aku mengedarkan pandangan.
Hitam di setiap sudut ruangan, benar-benar mencerminkan duka.
Dingin menyergap tubuh, terasa seperti sedang diterjang angin ketika telanjang.
Gambaran suasana rumah Bertha yang senantiasa ceria tidak lagi ada.
Mungkin gambaran itu takkan kembali untuk selamanya.
Bagaimana tubuh itu mengejang dalam mimpiku.
Bagaimana ia terpelanting ke berbagai arah.
Bagaimana darah mengalir dari lubang telinganya..
Aku takut gambaran Bertha itulah yang akan kuingat untuk seterusnya.
Saat dimana ia mencicipi kematian.
Walau hanya di benakku saja.
Tetap saja terasa menyakitkan..
Akan begitu jugakah aku nantinya?
Kurasa kematian memang bukanlah sebuah option yang harus dipilih. Itu merupakan sebuah ketetapan yang takkan mungkin dihindari.. Siap atau tidak.Who knows,
Mungkin sebentar lagi aku akan menyusulmu, Berth ..
Dibawah siraman matahari sore,
Early June 2007
Aku pernah mendengar,
kematian yang paling nikmat terasa seperti sedang dikuliti hidup-hidup. And that ‘kind of death’ only happen to chosen people (so far it only happened to my Prophet, Isa AS – a kind of people yang bisa dipastikan masuk surga).
Apa kabar dengan diriku (si manusia penuh dosa) nantinya ?