Aku memperhatikan bocah kecil itu melompati
beberapa tangga untuk mencapai lantai dasar. Tampaknya ia sangat senang karena berhasil
mendarat dengan selamat. Kuketahui itu dari caranya berlari berputar-putar sembari
mengembangkan kedua lengannya bagai pesawat udara dengan girang. Bibir manisnya
yang mekar dengan lebarnya dan tawanya yang begitu lepas membuatku ingin pergi menghampiri,
meraih, dan menculiknya. Profil bocah itu sungguh mengingatkanku pada adik
bungsuku di negeri seberang.
“Lid, hargain yang lagi ngomong,
dong. Gue nanya, nih.” Aku tersentak mendengar teguran pimpinan forum kecil
kami yang terlihat gusar. Ainun memelototiku, menuntut jawaban. Sial, ngomong
apa dia barusan? Bandit cilik tadi berhasil mencuri konsentrasiku. Siapa sih
yang bawa batita ke kampus?
“Gue tahu ini udah sore. Gue
juga capek, mau pulang, dan istirahat. Tapi please
banget, acara kita dua minggu lagi. Jadi tolong fokus ke rapat ini dulu.
Lagian, kalian ngeliatin apa, sih?”
Ainun berbalik badan untuk mengecek ke arah pandang – tunggu.. Ternyata bukan
hanya aku yang menjadi korban keimutan bandit tadi. Pandangan peserta rapat lainnya
juga bermuara pada si bandit cilik. “Siapa pula
yang bawa anak kecil ke kampus?” logat asli Ainun keluar.
Pertanyaan tersebut terjawab
beberapa detik kemudian dengan turunnya seorang pria berkulit sawo matang berbadan
tegap berpostur tinggi. Perkiraan asalku saat itu mengatakan bahwa usia lelaki
itu nyaris – namun belum – mencapai 30 tahun. Ia menggunakan kemeja flanel bergaris putih berwarna dasar biru dongker
dengan lengan panjang yang digulung asal-asalan, namun terlihat pas padanya.
Kemeja tersebut berpadu dengan celana panjang hitam yang dihiasi ikat Hermes di
pinggangnya. Kaca mata, jam tangan, serta dua buah pulpen yang bertengger manis
di saku bajunya membuatku yakin bahwa dia adalah salah seorang dokter pengajar
di fakultas kedokteran kami.
Ekspresi dan gesturnya mencerminkan
kepanikannya saat ia berlari kecil menghampiri si bandit cilik. “Noah! Ya
ampun, Noah! Papa cari kemana-mana..” Pria itu meraup si bandit yang masih
terkikik ke dalam pelukannya. Didaratkannya salah satu lututnya pada lantai dan
pantat si bandit cilik pada tungkai satunya yang tertekuk. Tubuh bidangnya yang
tegap menutupi hampir keseluruhan badan si bandit kecil ketika mereka
berpelukan. Akhirnya aku melihat bersitan kelegaan pada wajah pria macho tadi. Ia tampak mangacung-acungkan
jarinya sambil berbicara – sepertinya berpura-pura marah – pada si bandit yang
belum berhenti terkik melihat kepanikan Ayahnya tadi. Aku tidak lagi dapat menangkap
pembicaraan mereka. Aku terpesona. Interaksi yang mereka tampilkan menyerapku
ke dalam dunia mereka. Entah mengapa, aku ingin ikut serta dalam cengkrama
mereka dan merasa cemburu ketika melihat sang Ayah menghujani bandit kecilnya dengan
banyak kecupan.
“Itu salah satu dokter bedah jantung yang
mengajar di sini. Jadi itu, ya, anaknya. Lucu banget.” Sang pemilik suara adalah
seniorku, Firda, yang baru kusadari ternyata telah berdiri di samping tempatku
duduk, ikut memperhatikan adegan manis yang tersaji di depan kami – entah sejak
kapan. Ayah–anak itu kini telah beranjak berdiri dan berjalan menuju pintu
keluar lobi. “Kasihan, deh. Istrinya pergi sama cowok lain, ninggalin mereka
berdua,” ucap Firda datar sambil berlalu meninggalkan kami. Berlalunya Firda mengembalikan fokus
orang-orang disekitarku pada forum yang sebelumnya berjalan; namun, kini dengan
topik berbeda. “Ah. Iya, gue pernah denger. Dia cerai sekitar dua tahun lalu.
Anaknya dia yang pegang. Dia..” Ainun mulai berceloteh dengan info barunya –
yang entah didapatnya dari mana, memecah kesunyian khidmat yang sebelumnya ada
berkat sepasang bandit yang kemudian menjadi pembicaraan hangat forum kami.
Namun aku masih belum bisa sepenuhnya kembali
pada Ainun – pun ketika topiknya adalah kedua subjek yang masih mengunci
tatapanku. Saat itu mereka telah berada di luar lobi. Dokter bedah itu berhenti
untuk meraih tangan mungil si bandit cilik dan menggenggamnya erat. Ia
tersenyum pada si bandit yang membalas dengan seringai jenakanya. Kemudian
dengan tiba-tiba sang dokter bedah meraih si bandit dan menggendongnya sambil
berjalan menjauh menuju parkir mobil, meninggalkanku yang masih termangu di
tengah dengungan gosip Ainun tentang dirinya. Aku baru terbebas dari kungkungan
pesona Ayah-anak tersebut ketika akhirnya mobil Land Rover yang kedua bandit tadi naiki sepenuhnya hilang dari
pandangku. Sepertinya aku jatuh cinta.
“Oh, by
the way,” ucap Ainun. Masih berceloteh ia rupanya. Aduh, kapan sih anak ini bakal berhenti
ngomong? Entah mengapa aku merasa risih mendengar berita yang belum tentu benar
mengenai kedua bandit yang telah menculik hatiku tadi. Lagipula, kapan kita
selesai rapat? Aku sudah lelah sekali kuliah seharian hari ini, ditambah lagi
rapat acara yang telah berlangsung dua jam tanpa henti. Aku sangat suntuk.
Otakku seperti tidak mau diajak bekerja sama. Oh, siapa ya, nama dokter tadi?
Aku baru akan berbalik menghadap Ainun untuk bertanya sebelum akhirnya getaran
suara Ainun bergema di membran timpaniku. Tapi kali ini,
suaranya terdengar seperti suara malaikat. “Kalian
ngga tahu, kan? Dokter tadi namanya dr. Rendra. Rendra Wibisono.”
Jakarta, 23 Agustus 2012